Komik.Bdg

Artikel Komik

BAHAYA KOMIK?!

Sebuah Pengantar

oleh: Imansyah Lubis

the animator

Sebagaimana halnya media komunikasi massa lainnya, komik juga memiliki fungsi informasi, edukasi, dan rekreasi. Namun demikian, ambivalensinya sebagai media juga membuat komik dapat digunakan untuk mencapai tujuan lainnya. Potensi komik yang nyaris tak terbatas ini membuatnya menjadi sebuah media yang amat menarik untuk dieksplorasi lebih jauh.

Arthur Asa Berger dalam bukunya Signs in Contemporary Culture: An Introduction to Semiotics (1984) mengatakan bahwa komik sebenarnya memiliki banyak hal yang dapat kita baca, namun hanya jika kita peduli. Sayangnya, hingga saat ini, komik masih jamak dipandang sebelah mata sebagai sesuatu yang sepele. Peran komik sebagai media literasi tata tutur visual masih disepelekan, bahkan dikerdilkan: hanya bacaan anak-anak.

Kekuatiran berlebihan akan potensi komik sebagai pemicu meningkatnya angka kejahatan anak-anak membuat seorang psikiater bernama Frederic Wertham mencanangkan gerakan ‘suci’. Dengan bukunya Seduction of the Innocent (1954) ia ‘menyerang’ industri komik Amerika Serikat, yang pada masa itu didominasi oleh komik-komik kriminal dan horor. Hal ini berdampak bagi dinamika komik Amerika Serikat hingga kini.

Tentunya apa yang dikuatirkan – walau secara berlebihan – oleh Frederic Wertham bukan tanpa alasan. Tidak dapat dipungkiri bahwa komik pun berpotensi memberikan dampak buruk yang patut kita waspadai bersama. Selain eksplisitas dalam menampilkan adegan-adegan yang bisa jadi menginspirasi, tak semua konten dan konteks yang dibawa dalam komik cocok dengan pembacanya. Tak hanya persuasif, namun komik pun memiliki potensi provokatif... bahkan agitatif.

Sebagai media komunikasi, komik mampu menyampaikan konten informasi, edukasi, dan rekreasi secara efektif dan efisien melalui bahasanya sendiri. Meskipun komik memberi kesempatan berekspresi secara verbal dan visual, komik sebagai media seni tetap berada dalam ranah komunikasi.

Pada tahun 1957, lahirlah pemikiran mengenai komik yang disebut F. Lacassin sebagai ‘Seni Kesembilan’. Masyarakat mulai menyadari potensi positif komik, dan mulai banyak pembelaan bermunculan terhadapnya sebagai media. Umberto Eco berpendapat tentang komik sebagai sebuah bidang kajian yang luas dan sulit dijelajahi, namun tetap terbuka bagi semiotika pesan gambar. Hingga saat ini komik memiliki sejarawan, ahli tafsir, ahli estetika, ahli bahasa dan lain-lain di samping para kreator dan produser.

Wujud unik komik yang menggabungkan gambar dan teks dalam bentuk kreatif membuka cakrawala baru dalam ranah komunikasi. Tata tutur visual komik dimanfaatkan dalam banyak kampanye sosial. Ranah periklanan sudah barang tentu dapat memanfaatkan komik sebagai sarana branding. Banyak nilai positif seperti persahabatan, kesetiakawanan, semangat pantang menyerah, nasionalisme, dapat disampaikan dengan dramatisasi yang menggugah.

Sungguh, betapa dahsyatnya fungsi komik! Kombinasi gambar dan bahasa yang terkandung di dalamnya membuat pesan yang ingin disampaikan lebih mudah dimengerti. Komikus sebagai kreator dapat dengan cermat mengekspresikan hal ihwal sosial budaya di sekitarnya melalui komik. Komik menjadi lebih dari sekedar menghibur: komik menginspirasi pembacanya.

Akhirnya, sebagai sebuah produk budaya, dinamika komik amat ditentukan oleh perkembangan kehidupan lingkungan sosial masyarakat pembacanya. Nobita dalam komik Doraemon karya Fujiko F. Fujio bisa saja dianggap ‘mengajarkan’ kecengengan dan kemalasan bagi pembacanya. Padahal, komik Jepang ini diciptakan oleh kreatornya sebagai media motivasional yang mengajarkan bahwa tidak ada jalan pintas / cara mudah untuk mencapai suatu tujuan.

Tanpa pengertian menyeluruh tentang tuntutan dan persyaratan perekonomian masyarakat, komik sebagai media tidak dapat dinilai dengan tepat dan layak. Komik adalah wujud bentukan dengan tujuan komersial yang berusaha memenuhi kebutuhan pembacanya. Tujuannya hanya akan dapat berhasil bila persyaratan lingkaran produksi, konsumsi, dan distribusinya terhubung satu sama lain dalam sebuah ekosistem yang sehat.

Kembali, bukankah sesungguhnya dalam hakikat penciptaan segala sesuatu – termasuk komik, tentunya – terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal?